JAKARTA – Plt. Direktur Politeknik Negeri Semarang (Polines) Dr. Karnowahadi, S,E., M.M. diundang dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia (DPR-RI) di Ruang Rapat Komisi X DPR RI, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (27/6/2024).
Dalam Rapat Dengar Pendapat ini dipimpin oleh oleh Wakil Ketua Komisi X atau Ketua Panitia Kerja Pembiayaan Pendidikan, Dr. Dede Yusuf, M.E., M.I.Pol. yang turut dihadiri juga oleh Rektor Universitas Indonesia, Rektor Universitas Hasanuddin, Rektor Universitas Riau, Rektor Universitas Nusa Cendana Kupang, Rektor lnstitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung dan Direktur Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang
Dr. Karnowahadi, S,E., M.M. selaku Plt. Direktur Polines menyoroti alokasi anggaran dari Pemerintah yang terdiri dari Rupiah Murni (RM) dan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Sumber anggaran ini didalamnya termasuk operasional kantor, Gaji, Tunjangan Kinerja, Tunjangan Sertifikasi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Guru Besar.
“Untuk anggaran operasional kantor sendiri dalam lima tahun terakhir ini mengalami penurunan disatu sisi biaya operasional semakin tinggi. Selanjutnya, untuk tunjangan fungsional dosen sudah hampir 17 (tujuh belas) tahun belum ada perubahan atau kenaikan sehingga adanya perbedaan yang signifikan dengan tunjangan Pranata Laboratorium Pendidikan dan Jabatan Fungsional lain,” ujarnya.
Lebih lanjut, terkait implementasi alokasi 20 (dua puluh) persen anggaran fungsi pendidikan, ia mengatakan perlunya reformulasi alokasi anggaran untuk pembaharuan peralatan.
“Dalam hal ini Politeknik khususnya Polines peralatan yang ada adalah produk tahun 1982 hingga saat ini belum pernah diperbaharui karena biaya yang sangat besar, dimana satu alat mencapai 1 (satu) sampai 2 (dua) Milyar terutama program studi di jurusan Teknik Mesin dan Teknik Elektro,” katanya.
Plt. Direktur Polines menyampaikan, bahwa prinsip pembelajaran pada Perguruan Tinggi berbentuk Politeknik adalah “one student one tool” yang memiliki konsekuensi biaya yang lebih mahal.
“Jadi di Politeknik ini satu mahasiswa satu alat sehinngga perlunya anggaran khusus untuk program revitalisasi peralatan laboratorium dan bengkel yang setara dengan kamajuan industri saat ini. Disisi lain, kami berharap juga tidak adanya dikotomi antara Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta baik besaran pembiayaan maupun kemampuan untuk mencerdaskan bangsa. Perbedaannya pada sumber pembiayaan,” terangnya.
Terkait biaya Pendidikan yang lebih terjangkau, ia menambahkan bahwa perlunya memberikan subsidi atau bantuan kepada mahasiswa yang kurang mampu baik melalui skema beasiswa atau skema kerjasama antar kementerian.
“Kami ceritakan sedikit bahwa setiap tahun saat daftar ulang banyak sekali mahasiswa bersama orangtuanya yang antri ke bagian keuangan kampus untuk minta keringanan sehingga dapat mengangsur Uang Kuliah Tunggal (UKT) karena tidak mampu, bisa dilihat dari total mahasiswa kami sebanyak 7.600 setiap semester paling sedikit 500 mahasiswa pasti mengajukan,” tambahnya.
Pada akhir paparannya, ia menyebutkan bahwa alokasi anggaran pendidikan perlu ditingkatkan karena menyangkut kualitas pendidikan yang ideal.
“Dalam alokasi anggaran pendidikan dan implementasinya ini kami berharap benar-benar diberikan proporsi yang sesuai bahkan perlu ditingkatkan dan memastikan bahwa minimal 20 persen dari APBN dan APBD dialokasikan untuk pendidikan dibawah Kemendikbudristek,” pungkasnya.(ang/jul)