Era Industri 4.0 yang ditandai dengan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), Big Data, Internet of Things (IoT), dan Artificial Intelligence (AI) telah berlangsung beberapa tahun terakhir di dunia industri Indonesia. Industri perminyakan, transportasi, perhotelan, merupakan beberapa contoh sektor industri yang telah menerapkan teknologi terbaru yang menandai berlangsungnya era Industri 4.0 tersebut.
Hal tersebut merupakan ringkasan dari tiga pembicara Workshop Nasional Penguatan Sinergi Industri dan Politeknik seluruh Indonesia dalam menghadapi Peluang dan Tantangan Era Industri 4.0 yang diselenggarakan Ikatan Alumni Politeknik Negeri Semarang di Hotel Dafam Teraskota Jakarta 18 Oktober 2018. Ketiganya adalah Wakil Direktur Bidang Akademik Politeknik Energi dan Mineral Akamigas Rachman Setiawan ST MSc PhD, Wakil Presiden Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Wawan Erfianto SE, dan Direktur Politeknik Ketenagakerjaan Retna Pratiwi S.H., M.Hum.
Rachman Setiawan memaparkan bahwa sejak beberapa tahun lalu, telah banyak area pertambangan lepas pantai (offshore) yang menggunakan mesin (robot) untuk melakukan proses bisnisnya. Manusia hanya bertugas melakukan pemantauan secara jarak jauh (remote) dan hanya datang saat terjadi permasalahan di lokasi offshore. Banyak juga perusahaan perminyakan dunia yang hanya mempekerjakan manusia dalam jumlah minimal namun menghandel wilayah perusahaan yang sangat luas. Sayangnya, di sisi lain, masih terdapat juga pertambangan tradisional di Indonesia yang mempekerjakan manusia secara fisik untuk menambang minyak. Fakta ini bahkan belum memenuhi kriteria pada era revolusi industri 1.0 (tahun 1782) yang ditandai dengan adanya mekanisasi menggunakan mesin uap.
Wawan Erfianto dalam paparannya menyebutkan bahwa era revolusi industri 4.0 memiliki disruption effect yang besar namun dengan capitalization effect kecil, berbeda dengan era revolusi industri sebelumnya. Hal ini berpotensi mengganggu pasar tenaga kerja, antara lain karena tiadanya kepastian upah, jam kerja, dan jaminan sosial, persaingan yang tidak sehat, tidak terjaminnya keselamatan dan kesehatan kerja, serta tiadanya akses ke representasi atau perwakilan pekerja.
Sedangkan Retna Pratiwi memaparkan bahwa seiring dengan munculnya era Industri 4.0, perguruan tinggi harus mempersiapkan diri agar dapat menghasilkan lulusan yang memiliki “jiwa pejuang”. Jiwa kejuangan ini diperlukan karena kondisi industri di masa mendatang berpotensi selalu berubah, tidak seperti di masa lalu yang hanya berjalan as usual. Banyak pekerjaan baru yang muncul, namun ada juga pekerjaan lama yang hilang. Pekerjaan baru memerlukan skill baru, yang berbeda dengan skill yang dibutuhkan di pekerjaan lama.
[irw,man]